Posted by : Hafizh Zoelva Rabu, 29 Oktober 2014

Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena wataknya yang sangat rapuh, luasan lahan gambut di Indonesia cenderung mengalami penurunan, diperkirakan yang masih tersisa tidak lebih dari 17 juta hektar (Kurnain, 2005). Bahkan dari data yang telah dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2002, luasan lahan gambut di Indonesia hanya tersisa 13,203 juta hektar dari 16,266 juta hektar tahun 1997. Dari itu semua dan dari banyak publikasi yang telah dirilis baik melalui pertemuan ilmiah maupun laporan ilmiah, satu hal yang sudah pasti adalah telah terjadi degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia. Degradasi ini terutama terkait dengan pengalihfungsian lahan gambut alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut oleh kegiatan pengatusan (drainase), dan perusakan dan penipisan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Seperti kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah dan Seribu Hektar di Kalimantan Selatan, telah menimbulkan kerusakan lingkungan sangat hebat, termasuk peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut terutama selama musim kering.

Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.



Untuk mempertegas keterkaitan periode iklim panas ENSO dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan, perkenanlah saya mengungkapkan kembali sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al., 2000; Parish, 2002).

Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah kebakaran besar terjadi lagi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS, 1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang nampaknya cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara serta-merta (spontan) akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH ) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002). Meskipun demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia, yang 90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini. Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.  Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002).

Leave a Reply

Silahkan Berkomentar Di Blog Ini Dengan Etika Yang Baik Dan Cerdas

- Jangan Berkomentar Yang Mengandung Sara Atau Hal Negatif Lainya
- Jangan Berkomentar Menggunakan Link Akftif, Iklan, Atau Titip Link Yang Dapat Menimbulkan SPAM
- Pertanyaan Atau Masukan Harus Berhubungan Dengan Artikel Di Atas
- Di Sarankan Berkomentar Menggunakan Akun Google+
- Untuk Pertanyaan Di Luar Dari Artikel (OOT) Silahkan Masuk Ke Spot.Im Community Hafiizh_Khairani Yang Ada Di Sudut Kiri Bawah Blog Ini.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Join This Blog

Popular Post

- Copyright © Hafiizh -Hafiizh- Powered by Blogger - Designed by Hafiizh Zoelva K. -

Back to top